Anak laki-laki itu
tengah mengeja tulisan di selembar koran lusuh. Kulitnya gelap karena terlalu
sering terbakar panas matahari. Terdengar terbata-bata. Keningnya sampai
berkerut, namun ia menampakkan semangat untuk membacanya. Tak peduli pada
sengatan sinar matahari siang yang sangat terik. Hingga ketika berhasil
menyelesaikan satu kalimat utuh, senyumnya langsung mengembang pada wajah
polosnya.
Seragam SD yang ia
kenakan tampak lusuh dan kusam. Seragam itu ia temukan di tempat sampah beberapa
hari yang lalu. Sudah tiga hari ini ia terus mengenakannya tanpa memedulikan perkataan
teman-temannya.
“Kenapa tak kau lepas
saja seragam itu? Kau pikir dengan memakainya, kamu bisa seperti anak
sekolahan?”
“Tak usah kau bermimpi
sekolah. Nanti bagaimana kamu bisa mencari uang kalau harus sekolah?”
Namun ia lebih memilih
diam. Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan bukti. Kelak ia akan
sekolah dan tetap bisa mencari uang. Mimpi yang terus ia rajut selama ini,
supaya bisa menjadi orang yang berpendidikan tinggi seperti yang sering ia
lihat di koran-koran yang ia jual. Mereka bisa mudah mendapatkan pekerjaan yang
bisa menghasilkan banyak uang dengan sekolah setinggi-tingginya. Begitulah
pemikirannya yang sederhana. Bagi orang-orang sepertinya, yang diinginkan
adalah hidup yang lebih baik. Dan menurutnya, dengan sekolah ia bisa meraihnya.
“Ini sudah mau sore.
Apa kamu tidak jualan?”, tanya abangnya.
Anak itu mengangguk. Ia
beranjak dan mengambil tumpukan koran di sampingnya.
Ia segera berlari
menuju jalan raya. Di sanalah ia akan menjual koran-korannya. Hingga petang
merambah, ia masih beradu dengan panas jalan beraspal. Kaki kecilnya yang hanya
beralaskan sandal yang mulai aus itu, masih semangat mencari rupiah demi
rupiah.
Bocah itu selalu
cemburu melihat anak-anak mengenakan seragam sekolah dan bersepatu. Ia
seharusnya juga seperti mereka, pergi ke sekolah. Tetapi mengapa ia masih di
sini, beradu dengan panas matahari untuk
mencari uang. Itu, semua seperti jalinan paradoks yang sulit terurai.
Padahal kata Andre ia
bisa bersekolah karena memang itulah haknya. “Setiap orang berhak mendapatkan
pendidikan. Maksudnya, setiap anak di negara ini berhak sekolah.” Begitu ucapan
Andre, pemuda yang mengajarinya membaca. Dia pula yang menerbitkan asa untuk
sekolah yang tinggi. Dia yang mengenalkan pada mimpi-mimpi tinggi yang harus ia
wujudkan
“Termasuk aku, Kak?”
Andre mengiyakan “Ya,
termasuk kamu dan teman-temanmu.”
Ketika sedang melepas
penat dengan duduk di tepi jalan, seorang temannya memberikan surat. “ini,
surat untukmu dari Kak Andre. Tadi dikirim ke rumah Pak RT.”
“Benarkah?” ia hampir
tak percaya, “ternyata Kak Andre masih ingat padaku, padahal dia dulu bilang
mau sekolah di tempat yang jauh.”.
Segera dibacanya
sepucuk surat itu. Kata demi kata ia baca dengan perlahan. Selesai membacanya,
seulas senyum mengembang lebar. Ia bersorak
karena begitu gembira dengan kabar dari surat Andre.
“Kak Andre bilang dia
dan teman-temannya akan membangun sekolah buat kita. Katanya, kita tidak perlu
bayar.” Ucapnya pada temannya yang ingin tahu kenapa ia begitu gembira setelah
membaca surat itu.
Baginya, mimpi-mimpi
itu kini semakin mudah ia gapai. Akhirnya, ia bisa bersekolah. Ia bisa mengenakan
seragam SD. Ia akan bisa menulis dan membaca. Kini, itu semua bukan sekadar
angan-angan. Ia melangkah pergi menuju rumah gubuknya. Ia ingin memberitahu
teman-temannya bahwa mereka akan sekolah.
Kaki kecil itu terus
berlari menapaki jalanan beraspal. Tanpa ia sadari tak jauh darinya, beberapa
pemuda dengan mengendarai motor tengah melaju cepat. Mereka yang mengenakan
seragam putih abu-abu itu sedang beradu kecepatan. Lalu ketika anak itu
melangkah memotong jalan........
Braaakkkkk!!!!
Tubuh kecil itu
terhempas dan seketika tergolek di jalan. Darah mengalir deras dari kepalanya
yang sempat terbentur pembatas jalan. Ia mendesah kesakitan. Ia ingin
berteriak, namun suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Dalam genggamannya,
tersimpan sepucuk surat yang ternoda bercak darah. Sepucuk surat yang
mengabarkan bahwa mimpinya untuk bisa bersekolah, akan segera terwujud.
min, kalo mau kirim cerpen ke sini lewat mana ya? :)
BalasHapussilakan kirim ke jurnalisrikpgsdunnes@gmail.com ataupun kontak di fan page kami
BalasHapusterima kasih