Rabu, 21 November 2012

Paradoks Mimpi

Filled under: ,


Anak laki-laki itu tengah mengeja tulisan di selembar koran lusuh. Kulitnya gelap karena terlalu sering terbakar panas matahari. Terdengar terbata-bata. Keningnya sampai berkerut, namun ia menampakkan semangat untuk membacanya. Tak peduli pada sengatan sinar matahari siang yang sangat terik. Hingga ketika berhasil menyelesaikan satu kalimat utuh, senyumnya langsung mengembang pada wajah polosnya.
Seragam SD yang ia kenakan tampak lusuh dan kusam. Seragam itu ia temukan di tempat sampah beberapa hari yang lalu. Sudah tiga hari ini ia terus mengenakannya tanpa memedulikan perkataan teman-temannya.
“Kenapa tak kau lepas saja seragam itu? Kau pikir dengan memakainya, kamu bisa seperti anak sekolahan?”
“Tak usah kau bermimpi sekolah. Nanti bagaimana kamu bisa mencari uang kalau harus sekolah?”
Namun ia lebih memilih diam. Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan bukti. Kelak ia akan sekolah dan tetap bisa mencari uang. Mimpi yang terus ia rajut selama ini, supaya bisa menjadi orang yang berpendidikan tinggi seperti yang sering ia lihat di koran-koran yang ia jual. Mereka bisa mudah mendapatkan pekerjaan yang bisa menghasilkan banyak uang dengan sekolah setinggi-tingginya. Begitulah pemikirannya yang sederhana. Bagi orang-orang sepertinya, yang diinginkan adalah hidup yang lebih baik. Dan menurutnya, dengan sekolah ia bisa meraihnya.
“Ini sudah mau sore. Apa kamu tidak jualan?”, tanya abangnya.
Anak itu mengangguk. Ia beranjak dan mengambil tumpukan koran di sampingnya.
Ia segera berlari menuju jalan raya. Di sanalah ia akan menjual koran-korannya. Hingga petang merambah, ia masih beradu dengan panas jalan beraspal. Kaki kecilnya yang hanya beralaskan sandal yang mulai aus itu, masih semangat mencari rupiah demi rupiah.
Bocah itu selalu cemburu melihat anak-anak mengenakan seragam sekolah dan bersepatu. Ia seharusnya juga seperti mereka, pergi ke sekolah. Tetapi mengapa ia masih di sini, beradu dengan panas matahari  untuk mencari uang. Itu, semua seperti jalinan paradoks yang sulit terurai.
Padahal kata Andre ia bisa bersekolah karena memang itulah haknya. “Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan. Maksudnya, setiap anak di negara ini berhak sekolah.” Begitu ucapan Andre, pemuda yang mengajarinya membaca. Dia pula yang menerbitkan asa untuk sekolah yang tinggi. Dia yang mengenalkan pada mimpi-mimpi tinggi yang harus ia wujudkan
“Termasuk aku, Kak?”
Andre mengiyakan “Ya, termasuk kamu dan teman-temanmu.”
Ketika sedang melepas penat dengan duduk di tepi jalan, seorang temannya memberikan surat. “ini, surat untukmu dari Kak Andre. Tadi dikirim ke rumah Pak RT.”
“Benarkah?” ia hampir tak percaya, “ternyata Kak Andre masih ingat padaku, padahal dia dulu bilang mau sekolah di tempat yang jauh.”.
Segera dibacanya sepucuk surat itu. Kata demi kata ia baca dengan perlahan. Selesai membacanya, seulas senyum mengembang lebar. Ia bersorak  karena begitu gembira dengan kabar dari surat Andre.
“Kak Andre bilang dia dan teman-temannya akan membangun sekolah buat kita. Katanya, kita tidak perlu bayar.” Ucapnya pada temannya yang ingin tahu kenapa ia begitu gembira setelah membaca surat itu.
Baginya, mimpi-mimpi itu kini semakin mudah ia gapai. Akhirnya, ia bisa bersekolah. Ia bisa mengenakan seragam SD. Ia akan bisa menulis dan membaca. Kini, itu semua bukan sekadar angan-angan. Ia melangkah pergi menuju rumah gubuknya. Ia ingin memberitahu teman-temannya bahwa mereka akan sekolah.
Kaki kecil itu terus berlari menapaki jalanan beraspal. Tanpa ia sadari tak jauh darinya, beberapa pemuda dengan mengendarai motor tengah melaju cepat. Mereka yang mengenakan seragam putih abu-abu itu sedang beradu kecepatan. Lalu ketika anak itu melangkah memotong jalan........
Braaakkkkk!!!!
Tubuh kecil itu terhempas dan seketika tergolek di jalan. Darah mengalir deras dari kepalanya yang sempat terbentur pembatas jalan. Ia mendesah kesakitan. Ia ingin berteriak, namun suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Dalam genggamannya, tersimpan sepucuk surat yang ternoda bercak darah. Sepucuk surat yang mengabarkan bahwa mimpinya untuk bisa bersekolah, akan segera terwujud.

2 komentar:

  1. min, kalo mau kirim cerpen ke sini lewat mana ya? :)

    BalasHapus
  2. silakan kirim ke jurnalisrikpgsdunnes@gmail.com ataupun kontak di fan page kami
    terima kasih

    BalasHapus