Rabu, 21 November 2012

Ibu Kita, Guru Kita

Filled under: ,


          “Ibu, aku ingin jadi seperti ibu kartini!”, teriak Deha, siswi kelas 1 SD tiba-tiba kepada u gurunya.
“Kenapa kamu ingin seperti ibu kartini Deha?”, tanya ibu guru.
“Supaya teman-teman Deha pintar-pintar semua buk, Deha akan menjadi guru yang baik seperti ibu kartini.”
“Jadi, sebenarnya kamu ingin jadi seperti ibu kartini atau guru Deha?”, selidik bu guru yang mulai tak sabar menghadapi siswanya yang bawel ini.
“Kata ibuku, ibu kartini punya sekolah, beliau mengajarkan cara membaca kepada para wanita. Deha ingin seperti ibu kartini bu. Yang bisa mengajarkan baca tulis kepada semua orang. Termasuk teman-teman Deha yang belum bisa membaca buk. Kenapa ibu guru tidak bisa seperti ibu kartini bu? Apa ibu benci kepada kami?”
Dan, si ibu guru pun tersentak akan kesadaran dan terkejut akan kenyataan banyak siswanya yang belum lancar membaca, sedang selama ini ia hanya santai tanpa menanggung tanggung jawab yang memang ia punyai. Setahun ia menjadi guru, baru kali ini ia mendapat sentakan dari siswanya sendiri. Mengajar tak pernah dari hati, hatinya pun bertanya apakah pantas perilakunya yang seperti ini disebut dengan mengajar?
Pertanyaannya di sini adalah mengapa teman-teman Deha belum bisa membaca. Adalah si ibu guru yang sering jarang masuk serta setengah hati dalam mengajar siswanya. Pada pelajaran pertama belajar  membaca saat itu pun si bu guru hanya menyetel sebuah tayangan, yang biasa dalam dunia pendidikan kita sebut dengan video pembelajaran.

Kisah di atas hanya sekelumit cerita ironi. Si Deha yang hanya anak baru sekolah berumur 6 tahun pun begitu cerdas menyikapi perjuangan R.A Kartini. Pendidikan informalnya pun dijaga dengan baik oleh orang tuanya. Termasuk mengenai kisah patriotisme keteladanan ibu kartini yang Deha mengenalnya langsung, dari cerita yang terlontar dari bibir ibunya. Dari kisah ibu kartini yang diceritakan oleh ibunya, Deha dengan potensi cerdasnya mulai menyadari betapa selama ini ibu kartini berjuang agar anak perempuan dapat bersekolah. Sedang di sekolah, si ibu guru hanya memutar video, tak pernah mengajar, memberi PR, maupun sekadar memeriksa buku catatannya. Deha dengan semangat besar yang kontras dengan tubuh mungilnya, tak mengerti mengapa gurunya di sekolah tak meniru perjuangan ibu kartini.
Mari kita renungi intermezzo yang ironi dan terasa di kehidupan nyata. Betapa tidak, orientasi para pendidik di era globalisasi, entah era apa yang pantas disebutkan demi fenomena ini. Tak jelas di dasari oleh apa. Kalau pemerintah bilang ini zaman globalisasi di mana tak ada lagi batas antar negara di dunia ini, maka kita hanya bisa menyebutnya sebagai zaman yang ditelanjangi. Bagaimana tidak, tanpa kita sadari, perlahan negara kita akan kembali terjajah bangsa koloni. Siapa yang bisa menjamin kita tidak ditelanjangi demi melihat budaya, moral, nilai, serta norma bangsa Indonesia satu persatu dicopot dan dibuang. Di lupakan dan hanya menjadi catatan usang dalam buku pelajaran sejarah. Ibu Kartini, pahlawan bangsa, yang tak hanya berperan dalam memperjuangkan persamaan gender, juga mengajarkan kepada kita khususnya pada banyak wanita bahwa wanita tak hanya berwenang di kantor yang bernama dapur dan rumah tangga saja. Akan tetapi, wanita juga punya hak untuk berperan di luar. Kartini, yang ingin mendirikan sekolah, dengan masih memegang rasa sopan dan hormatnya kepada sang suami (R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat) tak segan meminta izin kepada suami demi keinginannya mendirikan sekolah. Inilah nilai luhur yang diajarkan kepada kita para wanita khususnya dan lelaki pada umunya. Betapa indahnya pelajaran yang dapat kita teladani. Kartini dengan semangat meggebu-gebunya ingin mencerdaskan teman-teman perempuannya, berkeinginan akan mendirikan sekolah. Akan tetapi tak lupa pula akan statusnya sebagai seorang istri, ia pun meminta izin kepada sang suami terlebih dahulu untuk mendirikan sekolah. Sang suami yang notabene tak hanya beristrikan ibu Kartini, dengan senang hati mempersembahkan bangunan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
 Ini juga menjadi pelajaran bagi kaum pria. Kaum pria juga tak bisa seenaknya memperlakukan wanita dengan seenak hatinya. Bahwa kaum wanita juga sama derajatnya dengan kaum pria, maka dari R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat para pria bisa belajar untuk menghormati dan memperhatikan kaum wanita. Dengan rasa penuh kasih, meskipun kasih sayangnya tak hanya untuk Kartini, Bupati Rembang ini pun memberi kebebasan kepada istri mudanya itu untuk mendirikan sekolah wanita.
Maka dari kisah patriotik ibu Kartini ini, apalagi yang bisa meragukan kita untuk tetap memperjuangkan nilai-nilai positif yang dijunjung tinggi ibu Kartini untuk tetap memperjuangkan hak-hak para wanita di bumi pertiwi. Baik wanita maupun pria juga berhak untuk sekolah sampai tingkat yang diinginkan. Bukankah dalam agama juga diwajibkan untuk mencari ilmu sampai ke negeri China.
Untuk para bapak dan ibu guru, maupun calon bapak dan ibu guru, maka niat apa yang mendasari engkau untuk menjadi seorang guru yang mempunyai mandat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita patut malu kepada Deha si gadis kecil tadi, jika ia yang masih kecil saja kagum pada Ibu Kartini dan ingin melanjutkan perjuangan Ibu kita ini, maka sebagai guru bangsa yang harusnya menjadi panutan bagi siswa-siswinya apakah cukup hanya dengan memutarkan video pembelajaran dan menyuruh siswanya menonton tanpa tahu harus berbuat apa, inikah yang disebut sebagai pahlawan tanpa tanpa jasa?
Bercermin dari perjuangan Ibu Kartini, tidak inginkah kita untuk melangkah dengan pasti, demi anak didik generasi bangsa telaten membuka cakrawala dunia kepada anak-anak yang buta. Yang butuh obat untuk membuka pengilhatannya untuk dapat memandang dunia lebih jauh lagi. Obat itu, telah dengan susah payah oleh Ibu Kartini untuk diramu bagi anak perempuan bangsa Indonesia. Maka tugas para Guru adalah mempertahankan resep ramuan mujarab itu baik untuk anak lelaki maupun anak perempuan agar semua anak bangsa sembuh dari kebutaan ilmu.


Hilyatifa Dafina Putri

0 komentar:

Posting Komentar