“Ibu, aku ingin jadi
seperti ibu kartini!”, teriak Deha, siswi kelas 1 SD tiba-tiba kepada u gurunya.
“Kenapa kamu ingin
seperti ibu kartini Deha?”, tanya ibu guru.
“Supaya teman-teman
Deha pintar-pintar semua buk, Deha akan menjadi guru yang baik seperti ibu
kartini.”
“Jadi, sebenarnya kamu
ingin jadi seperti ibu kartini atau guru Deha?”, selidik bu guru yang mulai tak
sabar menghadapi siswanya yang bawel ini.
“Kata ibuku, ibu
kartini punya sekolah, beliau mengajarkan cara membaca kepada para wanita. Deha
ingin seperti ibu kartini bu. Yang bisa mengajarkan baca tulis kepada semua
orang. Termasuk teman-teman Deha yang belum bisa membaca buk. Kenapa ibu guru
tidak bisa seperti ibu kartini bu? Apa ibu benci kepada kami?”
Dan, si ibu guru pun
tersentak akan kesadaran dan terkejut akan kenyataan banyak siswanya yang belum
lancar membaca, sedang selama ini ia hanya santai tanpa menanggung tanggung
jawab yang memang ia punyai. Setahun ia menjadi guru, baru kali ini ia mendapat
sentakan dari siswanya sendiri. Mengajar tak pernah dari hati, hatinya pun
bertanya apakah pantas perilakunya yang seperti ini disebut dengan mengajar?
Pertanyaannya di sini
adalah mengapa teman-teman Deha belum bisa membaca. Adalah si ibu guru yang
sering jarang masuk serta setengah hati dalam mengajar siswanya. Pada pelajaran
pertama belajar membaca saat itu pun si
bu guru hanya menyetel sebuah tayangan, yang biasa dalam dunia pendidikan kita
sebut dengan video pembelajaran.
Kisah di atas hanya
sekelumit cerita ironi. Si Deha yang hanya anak baru sekolah berumur 6 tahun pun
begitu cerdas menyikapi perjuangan R.A Kartini. Pendidikan informalnya pun dijaga
dengan baik oleh orang tuanya. Termasuk mengenai kisah patriotisme keteladanan
ibu kartini yang Deha mengenalnya langsung, dari cerita yang terlontar dari
bibir ibunya. Dari kisah ibu kartini yang diceritakan oleh ibunya, Deha dengan
potensi cerdasnya mulai menyadari betapa selama ini ibu kartini berjuang agar
anak perempuan dapat bersekolah. Sedang di sekolah, si ibu guru hanya memutar
video, tak pernah mengajar, memberi PR, maupun sekadar memeriksa buku
catatannya. Deha dengan semangat besar yang kontras dengan tubuh mungilnya, tak
mengerti mengapa gurunya di sekolah tak meniru perjuangan ibu kartini.
Mari kita renungi
intermezzo yang ironi dan terasa di kehidupan nyata. Betapa tidak, orientasi
para pendidik di era globalisasi, entah era apa yang pantas disebutkan demi
fenomena ini. Tak jelas di dasari oleh apa. Kalau pemerintah bilang ini zaman
globalisasi di mana tak ada lagi batas antar negara di dunia ini, maka kita
hanya bisa menyebutnya sebagai zaman yang ditelanjangi. Bagaimana tidak, tanpa
kita sadari, perlahan negara kita akan kembali terjajah bangsa koloni. Siapa
yang bisa menjamin kita tidak ditelanjangi demi melihat budaya, moral, nilai,
serta norma bangsa Indonesia satu persatu dicopot dan dibuang. Di lupakan dan
hanya menjadi catatan usang dalam buku pelajaran sejarah. Ibu Kartini, pahlawan
bangsa, yang tak hanya berperan dalam memperjuangkan persamaan gender, juga
mengajarkan kepada kita khususnya pada banyak wanita bahwa wanita tak hanya
berwenang di kantor yang bernama dapur dan rumah tangga saja. Akan tetapi,
wanita juga punya hak untuk berperan di luar. Kartini, yang ingin mendirikan
sekolah, dengan masih memegang rasa sopan dan hormatnya kepada sang suami
(R.M.A.A. Singgih
Djojo Adhiningrat) tak segan meminta
izin kepada suami demi keinginannya mendirikan sekolah. Inilah nilai luhur yang
diajarkan kepada kita para wanita khususnya dan lelaki pada umunya. Betapa
indahnya pelajaran yang dapat kita teladani. Kartini dengan semangat
meggebu-gebunya ingin mencerdaskan teman-teman perempuannya, berkeinginan akan
mendirikan sekolah. Akan tetapi tak lupa pula akan statusnya sebagai seorang
istri, ia pun meminta izin kepada sang suami terlebih dahulu untuk mendirikan
sekolah. Sang suami yang notabene tak hanya beristrikan ibu Kartini, dengan senang
hati mempersembahkan bangunan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor
kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung
Pramuka.
Ini juga menjadi pelajaran bagi kaum pria.
Kaum pria juga tak bisa seenaknya memperlakukan wanita dengan seenak hatinya.
Bahwa kaum wanita juga sama derajatnya dengan kaum pria, maka dari R.M.A.A.
Singgih Djojo Adhiningrat para pria bisa belajar untuk menghormati dan memperhatikan
kaum wanita. Dengan rasa penuh kasih, meskipun kasih sayangnya tak hanya untuk
Kartini, Bupati Rembang ini pun memberi kebebasan kepada istri mudanya itu
untuk mendirikan sekolah wanita.
Maka dari kisah
patriotik ibu Kartini ini, apalagi yang bisa meragukan kita untuk tetap
memperjuangkan nilai-nilai positif yang dijunjung tinggi ibu Kartini untuk
tetap memperjuangkan hak-hak para wanita di bumi pertiwi. Baik wanita maupun
pria juga berhak untuk sekolah sampai tingkat yang diinginkan. Bukankah dalam
agama juga diwajibkan untuk mencari ilmu sampai ke negeri China.
Untuk para bapak dan
ibu guru, maupun calon bapak dan ibu guru, maka niat apa yang mendasari engkau
untuk menjadi seorang guru yang mempunyai mandat untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Kita patut malu kepada Deha si gadis kecil tadi, jika ia yang masih
kecil saja kagum pada Ibu Kartini dan ingin melanjutkan perjuangan Ibu kita
ini, maka sebagai guru bangsa yang harusnya menjadi panutan bagi siswa-siswinya
apakah cukup hanya dengan memutarkan video pembelajaran dan menyuruh siswanya
menonton tanpa tahu harus berbuat apa, inikah yang disebut sebagai pahlawan
tanpa tanpa jasa?
Bercermin dari
perjuangan Ibu Kartini, tidak inginkah kita untuk melangkah dengan pasti, demi
anak didik generasi bangsa telaten membuka cakrawala dunia kepada anak-anak
yang buta. Yang butuh obat untuk membuka pengilhatannya untuk dapat memandang
dunia lebih jauh lagi. Obat itu, telah dengan susah payah oleh Ibu Kartini
untuk diramu bagi anak perempuan bangsa Indonesia. Maka tugas para Guru adalah
mempertahankan resep ramuan mujarab itu baik untuk anak lelaki maupun anak
perempuan agar semua anak bangsa sembuh dari kebutaan ilmu.
Hilyatifa Dafina Putri
0 komentar:
Posting Komentar